BAB
I
PENDAHULUAN
Unggas
termasuk golongan hewan berdarah panas (endotermik/homeotermik) yang suhu
tubuhnya diatur dalam suatu batasan yang sesuai. Secara normal, suhu tubuh unggas
dewasa berkisar mulai dari 41-42°C dengan variasi sekitar 1,5°C. Unggas dapat
berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam
batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan
merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi produktivitas
unggas. Suhu panas pada suatu lingkungan pemeliharaan unggas telah menjadi
salah satu perhatian utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat
peningkatan angka kematian ataupun penurunan produktvitas.
Cekaman
panas (heat stress) menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan pada unggas.
Penurunan pertumbuhan ini terkait dengan penurunan konsumsi pakan dan
peningkatan konsumsi air minum selama unggas mengalami cekaman panas.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengaruh suhu terhadap fisiologis unggas
2.1.1.
Aktivitas metabolisme
Suhu
lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh unggas. Peningkatan
fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dari aktifitas
metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya laju
metabolisme basal disebabkan karena bertambahnya penggunaan energi akibat
bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung serta bertambahnya sirkulasi
darah periferi. Melihat hasil tersebut, nampak bahwa pada suhu lingkungan yang
tinggi di atas thermoneutral akan mengakibatkan kebutuhan energi lebih tinggi.
Namun demikian, dengan adanya heat increament sebagai akibat pencernaan makanan
dan metabolisme zat-zat makanan, akan menimbulkan beban panas bagi unggas dan
akhirnya aktifitas metabolisme menjadi berkurang. Berkurangnya aktifitas
metabolisme karena suhu lingkungan yang tinggi, dapat dilihat manifestasinya
berupa menurunnya aktifitas makan dan minum.
2.1.2.
Aktivitas hormonal
Pengaruh cekaman panas terhadap unggas dapat dilihat
melalui skema di bawah ini:
Fase alarm ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah,
kandungan glukosa darah, kontraksi otot dan percepatan respirasi . Hormon yang
mempunyai peranan pada fase alarm ini adalah hormon adrenalin yang dihasilkan
pada ujung syaraf dan hormon norephinephrin yang dihasilkan oleh medulla
adrenal. Lebih lanjut dinyatakan bahwa selama fase alarm, hormon yang berasal
dari hypothalamus ikut berperan. Hypothalamus mensekresikan Corticotropin
Realising Faktor (CRF) ke hipofise anterior. Selanjutnya hipofise anterior mensintesa
adrenocorticotropin (ACTH) dan selanjutnya disekresikan keseluruh pembuluh
darah. Jaringan kortiko adrenal bertanggung jawab terhadap sintesa ACTH dengan
peningkatan dan pelepasan hormon steroid .
2.1.3.
Kontrol suhu tubuh
Pada
suhu lingkungan di atas thermoneutral, produksi panas meningkat karena unggas
tak dapat mengontrol hilangnya panas dengan menguapkan air dari pori-pori
keringat, akhirnya cara yang dilakukan ialah melalui pernafasan yang cepat,
dangkal atau suara terengah-engah (panting) . Panting tak dapat digunakan sebagai
alat mengontrol hilangnya panas untuk waktu tak terbatas, seandainya suhu
lingkungan tidak turun atau panas tubuh yang berlebihan tidak dibuang, maka
unggas akan mati karena hyperthermy (kelebihan suhu). Suhu tubuh unggas naik
dalam lingkungan suhu tinggi. Pada suhu lingkungan 23°C, sekitar 75% dari panas
tubuh dikeluarkan dengan cara sensible yaitu melalui kenaikan suhu lingkungan
di sekitarnya ; 25% panas tubuh selebihnya dikeluarkan dengan jalan penguapan
(insensible) yaitu dengan mengubah air dalam tubuh menjadi uap air . Pada suhu
lingkungan 35°C, sekitar 25% panas tubuh dikeluarkan melalui kulit dan 75%
melalui penguapan, biasanya unggas terengah-engah sehingga lebih banyak air
dapat diuapkan dari permukaan paru-paru.
2.2.
Pengaruh cekaman panas terhadap produktivitas ayam broiler dan layer
2.2.1.
Ayam broiler
Penurunan bobot badan ini disebabkan selama mengalami
cekaman panas, ayam mengurangi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum agar
pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat berkurang. Di sisi lain, kurangnya
asupan pakan ini menyebabkan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya untuk
pertumbuhan menjadi berkurang. Pada ayam yang dipelihara di luar kandang
berpemanas, temperatur dan kelembabannya lebih rendah, sehingga penggunaan
energi oleh ayam menjadi efisien, karena tidak ada energi yang dikonsumsi
terbuang dalam upaya tubuh melepas panas, seperti megap-megap (panting). Hal
ini juga terlihat dari rasio konversi pakan pada perlakuan kontrol (tanpa
diberi stres panas). Meskipun secara statistik tidak berpengaruh, tetapi
rata-rata RKPnya lebih rendah dari kelompok ayam yang diberi stres panas. Temperatur
dan kelembaban yang lebih rendah ini akan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan ransum (nilai FCR yang lebih rendah), karena ayam tidak perlu lagi
mengeluarkan energi untuk mengatasi cekaman panas. Tingginya nilai RKP diduga
karena debit aliran darah saluran pencernaan pada ayam yang diberi stres panas
akan menurun, sedangkan debit aliran darah ke permukaan tubuh seperti alat-alat
respirasi bagian atas meningkat dalam usaha untuk melepaskan panas tubuh.
Penurunan debit aliran darah ke saluran pencernaan akan menyebabkan penurunan
aktivitas enzimatik khususnya proteinase sehingga terjadi penurunan pada nilai
cerna asam amino.
Stres
panas dapat menyebabkan kehilangan rata-rata bobot badan sebesar 15% jika dibandingkan
dengan pertambahan bobot badan ayam pada perlakuan tanpa cekaman panas (yang
tidak terkena cekaman panas). Tingkat penurunan bobot badan sebesar 15%
tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan laporan peneliti lainnya.
Menurut Kuczynski (2002) bahwa pemeliharaan ayam broiler sampai umur 35 hari
pada suhu di atas 31 0C dapat menyebabkan penurunan bobot badan mencapai 25%
jika dibadingkan dengan pemeliharaan pada suhu 21,1-22,2 0C. Diduga bahwa salah
satu penyebab rendahnya selisih kehilangan BB pada penelitian ini terkait
dengan relatif tingginya suhu dan kelembaban di luar kandang berpemanas, yaitu
pada kisaran 28-30,7 0C dan 74-77%. Menurut Borges et al. (2004), pada ayam
broiler berumur di atas 21 hari, keadaan suhu lingkungan yang optimum untuk
pertumbuhan berkisar antara 20-25 0C dengan kelembaban relatif berkisar antara
50-70%.
2.2.2.
Ayam layer
Produksi telur ayam yang dipelihara pada suhu lingkungan
tinggi (25-31°C) adalah 25% lebih rendah dibandingkan dengan yang dipelihara
pada suhu lingkungan rendah (19-25 °C). Menurut BIRD et al. (2003) suhu
lingkungan tinggi dapat menurunkan produksi telur. Pada suhu lingkungan tinggi
diperlukan energi lebih banyak untuk pengaturan - suhu tubuh, sehingga
mengurangi penyediaan energi untuk produksi telur . Pada suhu lingkungan tinggi
konsumsi pakan turun, ini berarti berkurangnya nutrisi dalam tubuh , dan
akhirnya menurunkan produksi telur .
Pada ayam betina dewasa, makanan yang dikonsumsi
digunakan untuk kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi telur. Dengan
terjadinya penurunan konsumsi pakan, maka yang lebih dahulu dipenuhi adalah
kebutuhan hidup pokok, sehingga penurunan konsumsi pakan berakibat langsung terhadap
penurunan produksi telur. Berikut ini disampaikan data produksi telur ayam
buras di daerah bersuhu lingkungan tinggi dan rendah yang diperoleh dari
beberapa daerah dengan memperhatikan kesamaan.
BAB
III
KESIMPULAN
Cekaman panas sangat mempengaruhi produktivitas unggas
karena pada saat unggas terkena cekaman panas unggas akan berupaya
mempertahankan suhu tubuhnya seperti dengan panting, minum yang lebih banyak
sehingga mempengaruhi produktivitas unggas baik dalam bobot karkas atau
produktivitas telurnya. Penurunan produktivitas unggas terutama disebabkan oleh
penurunan konsumsi zat gizi maupun perubahan kondisi fisiologis ayam yang
timbul karena pengaruh suhu lingkungan tinggi . Upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi penurunan produktivitas adalah penyesuaian tatalaksana
pemeliharaan dan manipulasi zat gizi pakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aengwanich,
W. and O. Chinrasri. 2002. Effect of heat stress on body temperature and
hematological parameters in male layers. Thai .J. Physiol. Sci. 15:27-33.
Al-Fataftah,
A.R.A. and Z.H.M. Abu-Dieyeh. 2007. Effect of Chronic Heat Stress on Broiler
Performance in Jordan. Intern. J. Poult. Sci. 6(1): 64-70.
BIRD,
N.A., P. HuNToN, W.D . MORRISON dan L.J. WEBER. 2003. Heat Stress in Caged Layers.
Ontario-Ministry -if Agriculture and Food.
Borges,
S.A., F.A.V. da Silva, A. Maiorka,D.M. Hooge, and K.R. Cummings. 2004. Effects
of diet and cyclic daily heat stress on electrolyte, nitrogen and water intake,
excretion and retention by colostomized male broiler chickens. Int. J. Poult.
Sci. 3: 313-321.
Cooper,
M.A. and K.W. Washburn. 1998. The Relationships of Body Temperature to Weight
Gain, Feed Consumption, and Feed Utilization in Broilers under Heat Stress. Poult.
Sci. 77:237–242
FULLER,
H.L . dan M. RENDON. 1977. Energetic efficiency of different dietary fats for
growth of young chicks . Poultry Sci . 56: 549.
GUYTON,
A.C . 1983 . Fisiologi Kedokteran. Ed. 5 . CV. EGC. Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta .
Kuczynski,
T. 2002. The application of poultry behaviour responses on heat stress to
improve heating and ventilation systems efficiency. Electr. J. Pol. Agric.
Univ. Vol. 5 and Issue 1.
Mashaly,
M.M., G.L. Hendricks, M.A. Kalama, A.E. Gehad, A.O. Abbas, and P.H. Patterson.
2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses of
commercial laying hens. Poult. Sci. 83:889-894.