Photobucket

Kamis, 17 Oktober 2013

Perbandingan Penurunan Anti Nutrisi Tanin pada Sorghum Akibat Pengolahannya

Penurunan Kadar Tanin dengan Penambahan Asam Propionat
            Sorghum diolah dengan cara menambahkan 30% air dan 1% asam propionat dengan konsentrasi 20% berdasarkan berat/berat pada lama penyimpanan 7, 10 dan 14 hari. Berikut kandungan Tanin pada Sorghum (%):
Warna biji
Sorghum tak diolah
Sorghum diolah
Uji statistik
7
10
14
S
P
I
Putih
0,382 d
0,283 d
0,202 d
0,195 d
**
**
**
coklat
2,157 a
1,583 b
1,026 c
0,935 c



Keterangan: S, P adalah keragaman dari faktor jenis sorgum dan lama penyimpanan sorgum diolah, I adalah interaksi antara jenis sorgum x lama penyimpanan. ** nyata pada P<0,01.


Penurunan Kadar Tanin dengan Metode Fermentasi Ampok.
Sorghum diolah dengan cara perlakuan proses fermentasi pada suhu ruang (30 ± 3 0C). Proses fermentasi dilakukan selama 84 jam, dan dilakukan pemanenan ampok tiap 12 jam untuk kemudian dilakukan proses analisis kimia. Berikut kandungan Tanin pada Fermentasi Ampok Sorghum Coklat.
Lama fermentasi
Kandungan tanin shorgum yang tak diolah (mg/g)
Kandungan tanin shorgum yang diolah (mg/g)
0
8,82±0,04
0,60±0,01
12

0,58±0,04
24

0,57±0,02
36

0,57±0,04
48

0,56±0,07
60

0,56±0,07
72

0,52±0,04
84

0,45±0,01
           
jadi kandungan tanin shorgum yang diolah dengan cara fermentasi Ampok Sorghum turun dari 0,60 mg/g (0,06%) menjadi 0,45 mg/g (0,045%).

Telaah

Kedua perlakuan di atas mempunyai kadar penurunan yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh pada pengolahan dengan cara penambahan asam propionat belum diketahui mekanismenya dengan jelas, tetapi kemungkinan prosesnya sama dengan polimerisasi tanin selama pemasakan sorgum yang berhenti apabila kadar air menurun. Penurunan tersebut diduga terjadi polimerisasi tanin menjadi senyawa lebih komplek sehingga sulit untuk dipecah. Pada Fermentasi Ampok Sorghum terjadi diduga dipengaruhi oleh adanya aktivitas mikroba-mikroba seperti khamir dan BAL yang tumbuh selama fermentasi ampok. Enzim tanase dari khamir menyebabkan tanin terdegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana dan terlarut dalam air.

Sumber:
Sujatmiko, Bagus.  Sutrisno, Aji. Sofia, Erni. 2011. Degradasi Senyawa Tanin, Asam Fitat, Antitripsin dan Peningkatan Daya Cerna Protein secara In Vitro pada Sorgum Coklat (Sorghum bicolor L.Moench) dengan Metode Fermentasi Ampok. Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, Unibraw.
Suci, Dwi Margi dan Setiyanto, Hadi. 2001. Pengaruh Pengolahan Sorgum Terhadap Penurunan Kadar Tanin Dan Pengukuran Energi Metabolis. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
»»  Baca Selengkapnya...

Tingkah Laku Katak Saat Kawin

Kodok dan katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, atau di tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodok pegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutan yang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembap, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil.Sekali bertelur katak bisa menghasilkan 5000-20000 telur, tergantung dari kualitas induk dan berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun.
Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong (b. Inggris: tadpole), yang bertubuh mirip ikan gendut, bernapas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru. Setelah masanya, berudu ini akan melompat ke darat sebagai kodok atau katak kecil.
Kodok dan katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu kodok-kodok jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, seperti kodok tegalan (Fejervarya limnocharis) dan kintel lekat alias belentung (Kaloula baleata), kerap membentuk ‘grup nyanyi’, di mana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan
Pembuahan pada kodok dilakukan di luar tubuh. Kodok jantan akan melekat di punggung betinanya dan memeluk erat ketiak si betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki belakang kodok jantan akan memijat perut kodok betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan kodok jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.
»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 21 Desember 2012

PENGARUH CEKAMAN PANAS TERHADAP PRODUKTIVITAS UNGGAS


BAB I
PENDAHULUAN
Unggas termasuk golongan hewan berdarah panas (endotermik/homeotermik) yang suhu tubuhnya diatur dalam suatu batasan yang sesuai. Secara normal, suhu tubuh unggas dewasa berkisar mulai dari 41-42°C dengan variasi sekitar 1,5°C. Unggas dapat berproduksi secara optimum bila faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan normal yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi produktivitas unggas. Suhu panas pada suatu lingkungan pemeliharaan unggas telah menjadi salah satu perhatian utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat peningkatan angka kematian ataupun penurunan produktvitas.
Cekaman panas (heat stress) menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan pada unggas. Penurunan pertumbuhan ini terkait dengan penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum selama unggas mengalami cekaman panas.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengaruh suhu terhadap fisiologis unggas
2.1.1. Aktivitas metabolisme
                Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh unggas. Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dari aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya laju metabolisme basal disebabkan karena bertambahnya penggunaan energi akibat bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung serta bertambahnya sirkulasi darah periferi. Melihat hasil tersebut, nampak bahwa pada suhu lingkungan yang tinggi di atas thermoneutral akan mengakibatkan kebutuhan energi lebih tinggi. Namun demikian, dengan adanya heat increament sebagai akibat pencernaan makanan dan metabolisme zat-zat makanan, akan menimbulkan beban panas bagi unggas dan akhirnya aktifitas metabolisme menjadi berkurang. Berkurangnya aktifitas metabolisme karena suhu lingkungan yang tinggi, dapat dilihat manifestasinya berupa menurunnya aktifitas makan dan minum.

2.1.2. Aktivitas hormonal
            Pengaruh cekaman panas terhadap unggas dapat dilihat melalui skema di bawah ini:
            Fase alarm ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah, kandungan glukosa darah, kontraksi otot dan percepatan respirasi . Hormon yang mempunyai peranan pada fase alarm ini adalah hormon adrenalin yang dihasilkan pada ujung syaraf dan hormon norephinephrin yang dihasilkan oleh medulla adrenal. Lebih lanjut dinyatakan bahwa selama fase alarm, hormon yang berasal dari hypothalamus ikut berperan. Hypothalamus mensekresikan Corticotropin Realising Faktor (CRF) ke hipofise anterior. Selanjutnya hipofise anterior mensintesa adrenocorticotropin (ACTH) dan selanjutnya disekresikan keseluruh pembuluh darah. Jaringan kortiko adrenal bertanggung jawab terhadap sintesa ACTH dengan peningkatan dan pelepasan hormon steroid .

2.1.3. Kontrol suhu tubuh
Pada suhu lingkungan di atas thermoneutral, produksi panas meningkat karena unggas tak dapat mengontrol hilangnya panas dengan menguapkan air dari pori-pori keringat, akhirnya cara yang dilakukan ialah melalui pernafasan yang cepat, dangkal atau suara terengah-engah (panting) . Panting tak dapat digunakan sebagai alat mengontrol hilangnya panas untuk waktu tak terbatas, seandainya suhu lingkungan tidak turun atau panas tubuh yang berlebihan tidak dibuang, maka unggas akan mati karena hyperthermy (kelebihan suhu). Suhu tubuh unggas naik dalam lingkungan suhu tinggi. Pada suhu lingkungan 23°C, sekitar 75% dari panas tubuh dikeluarkan dengan cara sensible yaitu melalui kenaikan suhu lingkungan di sekitarnya ; 25% panas tubuh selebihnya dikeluarkan dengan jalan penguapan (insensible) yaitu dengan mengubah air dalam tubuh menjadi uap air . Pada suhu lingkungan 35°C, sekitar 25% panas tubuh dikeluarkan melalui kulit dan 75% melalui penguapan, biasanya unggas terengah-engah sehingga lebih banyak air dapat diuapkan dari permukaan paru-paru.

2.2. Pengaruh cekaman panas terhadap produktivitas ayam broiler dan layer
2.2.1. Ayam broiler
            Penurunan bobot badan ini disebabkan selama mengalami cekaman panas, ayam mengurangi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum agar pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat berkurang. Di sisi lain, kurangnya asupan pakan ini menyebabkan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya untuk pertumbuhan menjadi berkurang. Pada ayam yang dipelihara di luar kandang berpemanas, temperatur dan kelembabannya lebih rendah, sehingga penggunaan energi oleh ayam menjadi efisien, karena tidak ada energi yang dikonsumsi terbuang dalam upaya tubuh melepas panas, seperti megap-megap (panting). Hal ini juga terlihat dari rasio konversi pakan pada perlakuan kontrol (tanpa diberi stres panas). Meskipun secara statistik tidak berpengaruh, tetapi rata-rata RKPnya lebih rendah dari kelompok ayam yang diberi stres panas. Temperatur dan kelembaban yang lebih rendah ini akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum (nilai FCR yang lebih rendah), karena ayam tidak perlu lagi mengeluarkan energi untuk mengatasi cekaman panas. Tingginya nilai RKP diduga karena debit aliran darah saluran pencernaan pada ayam yang diberi stres panas akan menurun, sedangkan debit aliran darah ke permukaan tubuh seperti alat-alat respirasi bagian atas meningkat dalam usaha untuk melepaskan panas tubuh. Penurunan debit aliran darah ke saluran pencernaan akan menyebabkan penurunan aktivitas enzimatik khususnya proteinase sehingga terjadi penurunan pada nilai cerna asam amino.
Stres panas dapat menyebabkan kehilangan rata-rata bobot badan sebesar 15% jika dibandingkan dengan pertambahan bobot badan ayam pada perlakuan tanpa cekaman panas (yang tidak terkena cekaman panas). Tingkat penurunan bobot badan sebesar 15% tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan laporan peneliti lainnya. Menurut Kuczynski (2002) bahwa pemeliharaan ayam broiler sampai umur 35 hari pada suhu di atas 31 0C dapat menyebabkan penurunan bobot badan mencapai 25% jika dibadingkan dengan pemeliharaan pada suhu 21,1-22,2 0C. Diduga bahwa salah satu penyebab rendahnya selisih kehilangan BB pada penelitian ini terkait dengan relatif tingginya suhu dan kelembaban di luar kandang berpemanas, yaitu pada kisaran 28-30,7 0C dan 74-77%. Menurut Borges et al. (2004), pada ayam broiler berumur di atas 21 hari, keadaan suhu lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 20-25 0C dengan kelembaban relatif berkisar antara 50-70%.

2.2.2. Ayam layer
            Produksi telur ayam yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi (25-31°C) adalah 25% lebih rendah dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu lingkungan rendah (19-25 °C). Menurut BIRD et al. (2003) suhu lingkungan tinggi dapat menurunkan produksi telur. Pada suhu lingkungan tinggi diperlukan energi lebih banyak untuk pengaturan - suhu tubuh, sehingga mengurangi penyediaan energi untuk produksi telur . Pada suhu lingkungan tinggi konsumsi pakan turun, ini berarti berkurangnya nutrisi dalam tubuh , dan akhirnya menurunkan produksi telur .
            Pada ayam betina dewasa, makanan yang dikonsumsi digunakan untuk kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi telur. Dengan terjadinya penurunan konsumsi pakan, maka yang lebih dahulu dipenuhi adalah kebutuhan hidup pokok, sehingga penurunan konsumsi pakan berakibat langsung terhadap penurunan produksi telur. Berikut ini disampaikan data produksi telur ayam buras di daerah bersuhu lingkungan tinggi dan rendah yang diperoleh dari beberapa daerah dengan memperhatikan kesamaan.


BAB III
KESIMPULAN
            Cekaman panas sangat mempengaruhi produktivitas unggas karena pada saat unggas terkena cekaman panas unggas akan berupaya mempertahankan suhu tubuhnya seperti dengan panting, minum yang lebih banyak sehingga mempengaruhi produktivitas unggas baik dalam bobot karkas atau produktivitas telurnya. Penurunan produktivitas unggas terutama disebabkan oleh penurunan konsumsi zat gizi maupun perubahan kondisi fisiologis ayam yang timbul karena pengaruh suhu lingkungan tinggi . Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi penurunan produktivitas adalah penyesuaian tatalaksana pemeliharaan dan manipulasi zat gizi pakan.


DAFTAR PUSTAKA
Aengwanich, W. and O. Chinrasri. 2002. Effect of heat stress on body temperature and hematological parameters in male layers. Thai .J. Physiol. Sci. 15:27-33.

Al-Fataftah, A.R.A. and Z.H.M. Abu-Dieyeh. 2007. Effect of Chronic Heat Stress on Broiler Performance in Jordan. Intern. J. Poult. Sci. 6(1): 64-70.

BIRD, N.A., P. HuNToN, W.D . MORRISON dan L.J. WEBER. 2003. Heat Stress in Caged Layers. Ontario-Ministry -if Agriculture and Food.

Borges, S.A., F.A.V. da Silva, A. Maiorka,D.M. Hooge, and K.R. Cummings. 2004. Effects of diet and cyclic daily heat stress on electrolyte, nitrogen and water intake, excretion and retention by colostomized male broiler chickens. Int. J. Poult. Sci. 3: 313-321.

Cooper, M.A. and K.W. Washburn. 1998. The Relationships of Body Temperature to Weight Gain, Feed Consumption, and Feed Utilization in Broilers under Heat Stress. Poult. Sci. 77:237–242

FULLER, H.L . dan M. RENDON. 1977. Energetic efficiency of different dietary fats for growth of young chicks . Poultry Sci . 56: 549.

GUYTON, A.C . 1983 . Fisiologi Kedokteran. Ed. 5 . CV. EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta .

Kuczynski, T. 2002. The application of poultry behaviour responses on heat stress to improve heating and ventilation systems efficiency. Electr. J. Pol. Agric. Univ. Vol. 5 and Issue 1.

Mashaly, M.M., G.L. Hendricks, M.A. Kalama, A.E. Gehad, A.O. Abbas, and P.H. Patterson. 2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses of commercial laying hens. Poult. Sci. 83:889-894.
»»  Baca Selengkapnya...

Kamis, 13 Desember 2012

Pengaruh Suplementasi Enzim pada Kinerja, karakteristik karkas, Komposisi Karkas dan Parameter Darah beberapa Ayam Broiler dan Pengaruh Suplementasi Enzim dari Diet Broiler yang Mengandung Tingkat Variasi Pakan Bunga Matahari dan Serat Kasar


BAB I
PENDAHULUAN
Suplemen adalah bahan kimia atau makanan tertentu yang berfungsi sebagai penunjang kesehatan tubuh. Enzim adalah protein yang berperan sebagai katalis dalam metabolisme makhluk hidup. Enzim berperan untuk mempercepat reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, tetapi enzim itu sendiri tidak ikut bereaksi. Enzim berperan secara lebih spesifik dalam hal menentukan reaksi mana yang akan dipacu dibandingkan dengan katalisator anorganik sehingga ribuan reaksi dapat berlangsung dengan tidak menghasilkan produk sampingan yang beracun.



BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Pengaruh Suplementasi Enzim pada Kinerja, karakteristik karkas, Komposisi Karkas dan Parameter Darah beberapa Ayam Broiler.

Enzim endogen dari ayam pedaging tidak dapat memadai mencerna nonstarch polisakarida dan kemudian menyerap NSP larut menyebabkan peningkatan digesta viskositas dan kecernaan nutrien berkurang dan penyerapan. Suplementasi NSP merendahkan enzim dapat menghapus efek nutrisi anti NSP dan melepaskan beberapa nutrisi (pati, protein) dari elemen-elemen. Oleh karena itu, dalam rancangan acak lengkap efek multi-enzim (Endofeed W dihasilkan dari Aspergillus niger, dengan aktivitas minimal 2.250 ug-1 xilanase dan 700 ug-1 β-glukanase) suplementasi pada kinerja, karakteristik karkas, komposisi karkas dan parameter darah beberapa di Cobb 500 broiler diberi jagung-bungkil kedelai-gandum diet dipelajari.
Sebanyak 150 satu anak ayam usia sehari pedaging (Cobb 500) yang digunakan dalam sepenuhnya desain acak dengan 2 perlakuan dan 3 ulangan. Para ingeridients utama diet termasuk jagung, bungkil kedelai dan gandum. Tingkat enzim ditambahkan ke diet adalah 0,00 (kontrol) dan 500 mg kg-1 DM.


Suplementasi enzim secara signifikan meningkatkan pertumbuhan relatif, efisiensi energi dan efisiensi protein 11-28 hari usia. Menambahkan enzim menurun secara signifikan pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan pakan ditingkatkan untuk mendapatkan rasio, efisiensi energi dan efisiensi protein 29-44 hari usia (p <0,05). Pertumbuhan relatif, efisiensi energi dan efisiensi protein meningkat dan tubuh berat badan, konsumsi pakan dan pakan untuk mendapatkan rasio mengalami penurunan sebesar suplemen enzim 1-44 hari (p <0,05). Penambahan enzim meningkat secara signifikan karkas dan paha + persentase drumsticks di 44 hari usia. Menambahkan enzim secara signifikan meningkatkan konsentrasi darah triiodothyronine (T3) pada 28 dan 44 hari dan mengurangi konsentrasi darah Tiroksin (T4) pada 44 hari usia. Inklusi Enzim meningkatkan konsentrasi kolesterol darah total pada hari 10, 28 dan 44 usia, Namun konsentrasi trigliserida meningkat pada 10 dan 44 hari (p <0,05). Konsentrasi asam urat darah secara signifikan menurun pada 28 dan 44 hari pada ayam pedaging yang diberi diet suplemen enzim.

2.1. Pengaruh Suplementasi Enzim dari Diet Broiler yang Mengandung Tingkat Variasi Pakan Bunga Matahari dan Serat Kasar
Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas enzim multi diet yang mengandung pedaging berbagai tingkat makan bunga matahari dan serat kasar. Enam belas pakan isonitronenik adalah disusun dengan menggunakan 0, 5, 10 dan 15% SFM dan 4, 5, 6, dan 7% CF, masing-masing dengan dan tanpa enzim suplementasi dan diumpankan ke 480 anak ayam broiler hari tua. Data konsumsi pakan, pertambahan berat badan, pakan rasio konversi dan persentase berpakaian dikumpulkan.


Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan (P <0,05) antara diet percobaan yang berbeda untuk berat badan dan konversi pakan. Bobot tertinggi keuntungan diamati pada anak ayam yang diberi diet yang mengandung MHL 10% dan 6% CF dengan Grindazym sementara berat badan terendah diperoleh pada diet memiliki PHL 10% dan 6% CF tanpa enzim suplementasi. Diet yang mengandung PHL 15% dan 7% CF dengan enzim NIBGE @ 1% dari 2,5 Lipat adalah ditemukan terbaik di sisi lain diet yang mengandung SFM 5% dan CF 5% tanpa suplementasi enzim memiliki konversi pakan termiskin di antara semua pakan.
Konsumsi pakan selama percobaan Periode tidak berpengaruh (p> 0,05) baik oleh PHPL diet dan tingkat CF atau suplemen enzim. Namun, maksimal pakan yang dikonsumsi oleh diet makan burung mengandung SFM 5% dan CF 5% tanpa enzim suplemen. Sementara konsumsi pakan minimal diamati pada diet diformulasikan dengan 15% SFM dan CF 7% tanpa penambahan enzim apapun. Persentase Dressing dihitung sebagai bangkai berat badan termasuk kulit termasuk yaitu organ internal, jantung., hati, rempela dan ginjal dari burung-burung. Tidak perbedaan (p> 0,05) diamati untuk berpakaian persentase pada diet percobaan yang berbeda.





BAB III
KESIMPULAN
Hasil penelitian pada performan karkas menunjukkan bahwa suplementasi diet dengan 500 mg kg-1 multi-enzim (Endofeed W) di jagung-bungkil kedelai-gandum diet berbasis ayam broiler perbaikan pakan untuk mendapatkan rasio, karkas hasil dan dapat mengubah konsentrasi hormon tiroid dan beberapa metabolit dalam darah, tapi itu tidak berpengaruh signifikan terhadap komposisi karkas. Hasil dari penelitian pada pemberian pakan bunga matahari dan serat kasar menunjukkan bahwa suplementasi enzim dapat meningkatkan Nilai nutrisi dari diet serat tinggi broiler. Ayam broiler dapat tumbuh lebih cepat dan lebih efisien pada diet yang mengandung enzim merendahkan serat daripada diet tanpa enzim.




DAFTAR PUSTAKA
Hajati. 2010. Effects of Enzyme Supplementation on Performance, Carcass characteristics, Carcass Composition and Some Blood Parameters of Broiler Chicken. American Journal of Animal and Veterinary Sciences 5 (3): 221-227

Raza., et al. 2009. EFFECT OF ENZYME SUPPLEMENTATION OF BROILER DIETS CONTAINING VARYING LEVEL OF SUNFLOWER MEAL AND CRUDE FIBER. Pak. J. Bot., 41(5): 2543-2550
»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 11 Desember 2012

CFT (Complement Fixation Test) dan Fluorescent Antibody Test (FAT)


1. CFT (Complement Fixation Test)
            CFT adalah tes medis imunologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik atau antigen spesifik dalam serum. Secara luas digunakan untuk mendiagnosa infeksi, terutama dengan mikroba yang tidak mudah terdeteksi oleh metode budaya, dan penyakit rematik. Namun, di laboratorium diagnostik klinis sebagian besar telah digantikan oleh metode serologis lain seperti ELISA dan dengan DNA berbasis metode deteksi patogen, terutama PCR.
            Sistem CFT adalah sistem protein serum yang bereaksi dengan antigen-antibodi kompleks. Jika reaksi ini terjadi pada permukaan sel, maka akan mengakibatkan pembentukan trans-membran pori-pori dan karena penghancuran sel. Langkah-langkah dasar dari tes fiksasi komplemen adalah sebagai berikut:
1. Serum diisolasi dari pasien.
2. Pasien secara alami memiliki tingkat yang berbeda dari protein komplemen dalam serum mereka. Untuk meniadakan efek ini mungkin pada tes, protein komplemen dalam serum pasien harus dihancurkan dan diganti dengan jumlah yang diketahui dari protein komplemen standar. Serum dipanaskan sedemikian rupa sehingga semua pelengkap protein hancur tapi tidak ada antibodi-dalamnya dihancurkan. (Hal ini dimungkinkan karena protein komplemen jauh lebih rentan terhadap kerusakan oleh panas dibandingkan antibodi). Sejumlah protein komplemen standar yang diketahui ditambahkan ke serum. (Protein ini sering diperoleh dari serum marmut).
3. Antigen penting ditambahkan ke serum.
4. Sel darah merah domba (sRBCs) [2] yang telah pra-terikat untuk anti-sRBC antibodi ditambahkan ke serum. Tes ini dianggap negatif jika hasilnya berubah merah muda seketika dan positif sebaliknya.


2. Fluorescent Antibody Test (FAT)
            adalah test menandai antibodi secara langsung (direct fluorescent antibody (DFA or dFA)). Namanya berasal dari kenyataan bahwa itu langsung menguji adanya antigen dengan antibodi ditandai, tidak seperti western blotting, yang menggunakan metode deteksi tidak langsung, di mana antibodi primer mengikat antigen target, dengan antibodi sekunder ditujukan terhadap primer, dan tag melekat pada antibodi sekunder.
Komersial DFA kit pengujian yang tersedia, yang mengandung antibodi berlabel fluorescently, dirancang untuk secara khusus menargetkan antigen yang unik hadir dalam bakteri atau virus, tetapi tidak hadir pada mamalia (Eukariota). Teknik ini dapat digunakan untuk dengan cepat menentukan apakah subjek memiliki infeksi virus atau bakteri tertentu.
Dalam kasus virus pernapasan, banyak yang memiliki gejala yang luas yang sama, deteksi bisa dilakukan dengan menggunakan sampel mencuci hidung dari subjek dengan infeksi dicurigai. Meskipun sel-sel shedding pada saluran pernapasan dapat diperoleh, sering dalam jumlah yang rendah, sehingga metode alternatif dapat diadopsi di mana kultur sel kompatibel dapat terkena terinfeksi sampel mencuci hidung, sehingga jika virus hadir dapat tumbuh untuk jumlah yang lebih besar, yang kemudian dapat memberikan pembacaan yang lebih jelas positif atau negatif.
Seperti dengan semua jenis mikroskop fluoresensi, panjang gelombang serapan yang tepat perlu ditentukan dalam rangka untuk merangsang tag fluorophore melekat pada antibodi, dan mendeteksi fluoresensi yang dilepaskan, yang menunjukkan sel-sel yang positif untuk kehadiran virus atau bakteri yang terdeteksi.

sumber: http://wikipedia.org
»»  Baca Selengkapnya...
Photobucket
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...